Biografi Seniman Tari - Huriah Adam

Huriah Adam | TokohIndonesia.com | Repropicasaweb.com

Huriah Adam merupakan salah satu tokoh seni tradisional tari Minang. Dia menggali semua potensi ragam gerak Randai ke dalam bentuk tarian baik dilakukan secara berkelompok maupun perseorangan atau pasangan. Menurutnya, ragam gerak pencak silat merupakan materi pada tari tradisional Minang.
Huriah Adam lahir dari pasangan Syeh Adam Balai-Balai dan Fatimah di sebuah rumah sederhana, yang terletak di desa Balai - Balai, Padang Panjang pada 6 Oktober 1936. Namanya diambil dari bahasa Arab yang berarti "kemerdekaan". Di kemudian hari makna tersebut memang benar-benar menjelma dalam dirinya dimana Huriah Adam dikenal sebagai seniman pencari kemerdekaan.
Ayahnya Syeh Adam, B.B. adalah seorang ulama yang mempunyai minat besar dan usaha nyata untuk mengembangkan kesenian di daerahnya. Saudara-saudaranya, yaitu, Bustanil Arifin, Irsjad dan Achyar, mengarahkan perhatian utamanya ke bidang musik, sedangkan ia sendiri bergerak paling banyak di bidang tari dan seni lukis.
Sosok yang berperan sebagai pembuka jalan bagi pengabdiannya kepada seni ialah ayahnya sendiri. Meskipun beliau seorang guru agama, tidak dipaksanya sang anak menekuni agama saja. Dia juga melihat bakat seni yang besar pada anak-anaknya, sehingga dilengkapilah madrasahnya dengan pentas dan alat-alat musik.
Huriah Adam memulai kegiatan tarinya sejak ia duduk di sekolah rakyat. Kemudian ia mengikuti pula ruang-ruang pendidikan kesenian di Gedung Kebudayaan Sumatra di Padang Panjang, yang dipimpin oleh Angku Muhammad Sjafei, I.N.S. Kayutanam. Sejak itulah ia banyak menggali kekayaan tari Minang atas dasar-dasar gerakan silat dan dengan bahan inilah ia dapat mengembangkan tari Minang. 
Setelah lulus SMP di Padang Panjang pada tahun 1951, tak lama Huriah Adam tinggal di Yogya untuk mengikuti beberapa pelajaran di ASRI Yogyakarta. Lalu kembali lagi ke Padang Panjang dan kemudian menikah dengan seorang pemain biola, Sdr. Ramudhin. Namun kegiatan seninya tak terhenti karena pernikahan ini, demikian seterusnya hingga mereka memiliki lima orang anak. Kesenian tetap menjadi lapangan pengabdiannya.
Kemudian dari tahun 1959 sampai 1968 ia menjadi anggota URRIL kodam III Sumatra Barat. Disini ia membentuk grup sendiri. Pada masa pertikaian PRRI, ia dengan grupnya sering dikirim ke berbagai daerah untuk mengadakan pertunjukan-pertunjukan. Ini adalah suatu hal yang luar biasa bagi masyarakat Minang karena tadinya mereka menganggap tidak pantas apabila wanita begitu bebas menyiarkan tarian di depan umum. Dalam masa tugasnya sebagai anggota URRIL, ia juga pernah dikirim ke Jakarta pada tahun 1963 untuk memimpin tim tari dalam memeriahkan Ganefo. Ia adalah seseorang yang tak mau dikekang dan selalu mau mengejar cakrawala-cakrawala yang lebih luas.
Ketika Padang Panjang dirasanya terlalu sempit, iapun terbang ke Jakarta pada tahun 1968. Disini ia bekerja sama dengan rekan-rakan dari berbagai latar belakang tari dalam suatu Bengkel Tari di Taman Ismail Marzuki. Kemudian pada waktu mengikuti Expo 1970 di Jepang, ia banyak mendapat pengalaman tari dan gagasan-gagasan baru dari Sardono W. Kusumo, seorang yang juga diakui sebagai guru.
Sejak awal 1971 ia menjadi pengajar tari pada jurusan tari, Akademi Teater Tari, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Beberapa karya tari yang diciptakannya dalam masa terakhir tersebut adalah: Drama Tari ‘Malin Kundang’ dalam tiga edisi, ‘J.I’ tahun 1969 di Jakarta, 1971 di Padang Panjang dan 1971 di Jakarta, dan tari-tarian pendek yang bernamakan tari ‘Payung’, tari ‘Pedang’, tari ‘Rebana’ dan tari ‘Sepasang Api Jatuh Cinta’
Adapun tari-tarian yang telah diciptakannya sebelum itu adalah tari ‘Sapu Tangan’, tari ‘Lilin’, tari ‘Gadis Lembah’, tari ‘Nelayan’, tari ‘Nina Bobok’, tari ‘Pahlawan’, tari ‘Pembebasan’, tari ‘Sandang Pangan’ dan tari ‘Berabah’. Tari yang terakhir ini, tari ‘Berabah’ adalah yang paling disenangi, di anggapnya paling lengkap menunjukan dasar tari Minang tradisional dan sekaligus diolahnya sedemikian rupa sehingga membayangkan watak kegagahan dan kebebasan yang begitu nyata sehingga merupakan cermin dari aspirasinya.
Disamping menjadi seorang penari dan pencipta tari yang terkemuka, ia juga bermain musik terutama biola dan juga seorang pelukis serta pemahat. Bahkan ia berkeinginan untuk lebih banyak melukis dari pada yang sempat dilakukannya. Dalam seni pahat, karyanya yang menarik adalah Patung Pembebasan di Bukittinggi.
Huriah Adam berhenti dalam berkarya pada 10 November 1971, ketika pesawat terbang Merpati jurusan Jakarta-Padang menghilang di atas Kepulauan Katang-Katang dan tak pernah ditemukan hingga sekarang. Begitu juga dengan jenazahnya yang menjadi penumpang dalam penerbangan tersebut.

 

Time

Follow us on Twitter

Stats

Gallery